Korek Api

Friday, June 12, 2009

Mulai (Lagi)

Gw sadar gw punya nafas yang pendek-pendek. Nggak terkecuali dengan urusan tulis-menulis. Itulah kenapa keinginan gw untuk menulis sebuah buku (suatu hari nanti) belum juga kesampaian. Keinginan gw terlalu banyak untuk bisa disuapi satu-satu!

May be that's why bloging does suit me. Bentuknya (juga fungsinya) tidak cocok untuk tulisan yang panjang—kecuali kalo tulisan itu diputus-putus ke dalam beberapa bagian. Praktis dan gampang diakses siapa saja, membuat blog menjadi panggung yang cocok buat 'tampil'.

Sayangnya beberapa bulan belakangan ini, kegiatan blogging gw turun drastis dengan kehadiran Facebook. Seperti kejayaan buku yang perlahan-lahan mulai terganti dengan kehadiran internet dan ebook, demikian juga Facebook mulai membuat keberadaan Blog sedikit terancam.

Pasalnya, di Facebook sendiri, kita bisa nulis apa aja dan teman-teman sesama jamaah fesbukiah akan langsung mendapat kabar tentang itu—di samping banyak lagi hal yang bisa dilakukan di sana. Menulis di blog sekarang ini seperti berkonser sendirian di tengah lapangan kosong.

Ini membuat rasa bersalah saya muncul ke permukaan seperti ikan mati kena racun. Saya bertekad untuk mulai lagi menulis—dan dengan demikian menjaga kelangsungan nyala sang 'Korek Api'.

---

Kalau dulu alasan utama—yang seringkali saya deny—ketika gw mulai membuka account blogspot saya ini adalah untuk 'eksis' dan ajang pembuktian bagi diri gw di antara sekian banyak teman di kampus. Banyak yang mulai sebelum gw, dengan tulisan-tulisan yang bagus-bagus. Ketika itu, gw ngerasa kalo kemampuan menulis gw pun ngga kalah.

Maka lahir lah Korek Api sebagai benih rasa percaya diri gw yang gw harap suatau saat bisa dipakai sebagai penerang oleh orang lain (dan diri sendiri) ketika 'mati lampu'.

Semoga.

Wednesday, November 26, 2008

Yoga

-berita-


Umat Islam di Malaysia dilarang ber-yoga karena dikhawatirkan akan melunturkan akidah agamanya. Begitu kira-kira inti sebuah artikel pendek yang saya baca kemarin.


Ah, sampai kapan sih kita akan jadi sedemikian picik dan menutup diri. Mungkin karena iman kita lemah, keyakinan kita tak teguh sehingga kita merasa perlu mengatur dan melarang sekian banyak hal. Yang ini halal, yang tak kita kenal haram. Sudah lupakah kita bahwa kemajuan peradaban Islam seribuan tahun yang lalu terjadi karena umat Islam membuka diri pada ilmu dan pengetahuan dari Yunani dan India? Ketertutupan adalah langkah pertama kemunduran. Semoga bangsa kita cepat sadar dan tahu mana yang benar dan mana yang sebentuk ketololan.

Thursday, November 20, 2008

Tanpa Judul

-dari hati-

Tuhan, kenapa kau tak pernah menemaniku lagi jalan-jalan pagi?

Pergi bersama Ketiadaan-Mu: rasa syukur dan kerendahatian di hidupku.

Tuhan, aku merindu-Mu.. menatap wajah tampan-Mu..

juga pelukan-Mu yang menyemangati hari-hariku.

Aku ingin dengar lagi guyonan-Mu dan tawa yang terbahak-bahak.


Brisbane, 20 November 2008

11:30 Malam

Sunday, November 02, 2008

Aku



Semua ini dimulai dari kebingunganku. Kemudian, kebingungan itu menyebar kepada mereka yang mencoba memahami apa yang sedang ku lakukan, juga kepada mereka yang mencoba membantu. Di sini faktornya bukanlah (lagi) orang lain atau perusahaan tempatku bekerja, tapi (hanya) akulah yang bisa mengakhirinya.


Kebingungan itu lahir dari dua sisi: cahaya dan gelap. Cahaya di sini mewakili kesadaran, kata hati. Dan kegelapan adalah rasa takut dengan segala penalarannya. Cahaya itu suatu hari menyoroti satu sisi dalam kehidupanku yang selalu aku nihilkan, mencoba ku matikan, tapi tak pernah berhasil. Dalam kegelapan aku berdiri, sendiri, takut akan apa yang akan terjadi di luar apa yang selama ini telah nyaman aku jalani. Hari-hari ini aku kembali pada kesimpulan itu: Cukup sudah!


Aku sudah tak bisa lagi menjalani kehidupan yang sekarang sedang aku lalui. Rasanya seperti menjalani kehidupan orang lain; kering dan kehilangan elemen terpenting yang membuat hidupku ini berharga dijalani: aku.


Mungkin momennya tidaklah tepat. Ini adalah sebuah ujian yang teramat sulit. Dunia sedang menghadapi resesi. Pertumbuhan negeri-negeri yang menggerakkan perekonomian dunia seperti Cina sedang melambat, bahkan pertumbuhan di Amerika minus. Uang tidak lagi berarti banyak. Mata uang dolar australia jatuh dan banyak perusahaan memperketat pengeluarannya. Gelap itu makin mencekam!


Aku tak punya back up; aku harus memulai segala sesuatunya dari mula lagi.. menatanya satu demi satu. Aku harus memulai dari mencari pekerjaan (atau menciptakannya sendiri). Aku mengerti kekhawatiran kakak dan ibu. Tapi menjalani hidup seperti ini sama seperti sesak nafas yang berkepanjangan. Aku telah lupa bagaimana rasanya 'udara segar' yang menyesak masuk memenuhi paru-paru. Dan kini aku telah memilih untuk Hidup!


Masa perpanjangan dua bulan yang sebentar lagi berakhir ini sebenarnya hanya alasanku untuk menunda 'peperangan'. Aku tidak butuh Karen Wood untuk menentukan masa depanku. Aku tidak butuh tawaran permanen dari BHP Billiton. Yang aku perlu sebenenarnya sederhana saja: aku ingin menjadi diriku sendiri. Tapi sebelumnya aku harus menemukan 'Sang Diri' itu. Cukup sudah aku membingungkan dan merepotkan orang-orang. Apapun yang akan terjadi di ujung jalan nanti akan ku hadapi dengan lapang dada.


om bhuur bhuwah swah

tat savitur varenyam

bhargo dewasya dhiimahi

dhiyo yo nah pracodayaat.



Blackwater, 2 November 2008

9:24 Malam

Wednesday, October 08, 2008

Sore itu...

Sebenarnya sederhana saja. Apa yang menjadi tujuan dalam hidup, itulah yang diikuti. Jangan terombang-ambing dan jangan mudah menyerah! Andai segalanya segampang itu.


Saya membayangkan waktu itu datang. Di suatu sore yang teduh, ditemani secangkir teh hangat dan beberapa—ya, secukupnya saja—potong biskuit Kong Huan yang diletakkan di atas lepek. Saat itu, badai kehdupan yang sedang ku jalani sekarang ini telah lama lewat. Dan, di ujung perjalanan berliku itu adalah hidup yang indah nan sederhana—dengan hati yang tidak menderu-deru. Aku membayangkan sore itu penuh kenangan masa lalu.


Pertanyaannya: Apa yang akan ku katakan tentang apa yang terjadi di beberapa bulan yang baru saja berlalu ini? Akankah ku kenang hari-hari ini dengan dahi berkerut dan perasaan yang masam kah, atau dengan penuh senyum dan perasaan lega? Atau mungkin kedua-duanya. Siapakah yang akan memenangkan perang: Sang Hati atau Si Logika?


Ah, mengapa juga  aku harus melambung lagi.. menjauhi realita hidup yang sedang menunggu keputusan apa yang akan ku ambil. Haruskah aku pergi sekarang? Haruskah aku menunggu dua bulan? Haruskah aku menjilat ludahku sendiri, dan memilih untuk menetap dan menepikan keinginan yang selama ini ku pendam?


Di sore yang hangat itu aku membayangkan diriku berujar, “Aku yakin pada apa yang ku tempuh. Aku mendengar suara-Nya, dan menapaki suratan-Nya.” Ya Tuhan, bimbinglah aku!